Saat SMA, ketertarikan Karim pada lelaki semakin tinggi. Ia mengaku begitu menyukai kakak kelasnya, seorang lelaki berperawakan besar tinggi. Karim pun sering berupaya mengambil kesempatan agar bisa selalu dekat dan bersamanya. Karim merasa patah hati ketika kakak kelasnya itu lulus dan melanjutkan pendidikan ke salah satu kampus di Bandung.

 

Sejak itu, Karim berniat untuk mengejar senior yang disukainya tersebut. Hingga pada 2007, Karim kuliah di kampus yang sama dan jurusan yang sama dengan idolanya. Karim yang mengaku sudah muncul syahwat akhirnya memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. Namun, sang senior menolak dan memutus hubungan dengannya.

 

Ketika ada mahasiswa baru pindahan dari Jakarta yang kuliah sekelas dengannya, Karim kembali merasa tertarik pada lelaki itu. Ia pun berhubungan dekat dengan lelaki itu. Adakalanya keduanya menonton film porno. Mereka berpelukan, berciuman, hingga bermasturbasi. Keduanya pun menyatakan suka satu sama lainnya.

 

Setelah lulus kuliah, Karim pindah ke Bogor. Kecenderungan seksualnya pada lelaki masih melekat kuat. Seorang gay berusia 40 tahun menyukainya, yang kala itu berusia 23 tahun. Karim mengaku pernah berhubungan seksual dengan lelaki itu. Hingga suatu hari, Karim merasa sangat menyesal. Di situlah ia menemukan titik balik yang mengantarnya keluar dari zona hitam LGBT. " Tahun 2014 adalah tahun di mana saya benar-benar ingin berubah. Atas izin Allah, saya menemukan akun Facebook Sinyo Egie (pendiri Peduli Sahabat). Mungkin ini jalannya, akhirnya saya inbox beliau dan direspons. Saya cerita panjang lebar apa yang dipendam saya ceritakan sedetail dan sejujurnya," kata Karim.

Pixabay

Karim pun bergabung dengan Peduli Sahabat. Sebagai langkah awal, ia menggunakan akun baru tanpa foto sebagai sarana berkonsultasi. Kala itu Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay. Namun, perjalanan Karim untuk berhijrah tidaklah mudah. Kakak kelasnya pada masa lalu justru kini menyukai Karim dan terus merayunya. Hingga Karim sempat kembali terjerumus melakukan perbuatan penyimpangan seksual. Berkat dukungan dan bimbingan Peduli Sahabat, Karim sekali lagi bertekad untuk berhenti dan meninggalkan dunia LGBT.

 

Ia mulai menjalani beragam tahapan yang diinstruksikan pembimbingnya mulai dari taubat nasuha, meminta maaf kepada setiap orang termasuk orang tua, berhenti menonton film porno, tidak masturbasi, memutus komunikasi dengan LGBT, memperbanyak ibadah, dan membaca Alquran. Dua tahun di Peduli Sahabat, Karim akhirnya bisa kembali pada fitrahnya sebagai lelaki. Ia sudah tidak lagi memiliki hasrat kepada sesama jenis. Ia justru telah memiliki ketertarikan ketika melihat wanita.

 

"Lulus dari situ (Peduli Sahabat) aku niat ingin nikah, karena kalau tidak, takutnya akan kembali lagi. Berkali-kali saya (mencoba) ta'aruf, yang ketujuh alhamdulillah ini jodoh saya. Desember 2018, menikah dan (sekarang) sudah punya dua anak pertama perempuan dan kedua laki-laki," katanya.

Saya dulu mikir kalau saya begini terus, gimana nanti di kuburan? Jujur saya takut sama kematian, saya takut sama Tuhan.

Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay.

Sekilas, Karim Abdul Setia (bukan nama sebenarnya) seperti lelaki pada umumnya. Guru yang berdomisili di Bogor ini mempunyai keluarga kecil dengan seorang istri dan dua anak. Namun, tidak seperti pria lain, Karim membangun keluarga bahagia itu lewat upaya dan doa yang panjang. Dia harus mengalahkan hasratnya terhadap sesama jenis lewat pergulatan berpuluh tahun.

 

Beberapa hari lalu, Karim menceritakan bagaimana proses panjang itu harus dilalui demi kembali ke fitrah untuk menjadi lelaki normal kepada Republika. Meski demikian, Karim meminta agar namanya disamarkan demi kenyamanan keluarga.

 

Sejak duduk di bangku SMP, Karim telah memiliki kecenderungan tertarik pada lelaki. Ia tertarik pada lelaki yang berusia di atasnya apalagi yang berbadan besar, kekar, dan tegap. Ia pun bertanya-tanya mengapa dirinya memiliki ketertarikan lebih pada lelaki.

 

Karim mengatakan bahwa pada masa itu, ia belum pernah mendapatkan informasi apa pun terkait penyimpangan seksual, terlebih pada kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Merasa malu, Karim tak pernah bercerita kepada orang lain tentang apa yang dialaminya itu.

Senada dengan Karim, lelaki lain di bilangan Jakarta Timur sedang berjuang untuk kembali ke fitrah. Sebut saja Boris (bukan nama sebenarnya) yang saat ditemui Republika di kawasan Cibubur, Jakarta, sudah berpenampilan layaknya pria. Padahal, Boris pernah merasa tidak nyaman menjadi laki-laki. Ia bahkan mendefisinikan diri sebagai seorang perempuan dalam tubuh kaum Adam. Perasaan itu ditanggungnya sejak saat berseragam SD.

 

Boris pun merasa jika ketertarikannya kepada sesama jenis merupakan keinginan diri yang tak bisa ditahan. Lima tahun lalu, Boris bahkan menjalin hubungan dengan seorang pria. Ketika itu, Boris kerap berpenampilan layaknya perempuan, terutama sejak memasuki fase kuliah. Meski demikian, Boris mengaku tidak pernah mengikuti komunitas LGBT. “Kalau waktu sekolah (SD-SMA) kan ada seragam, ya, jadi belum berani untuk menunjukkan kalau saya ini nggak nyaman jadi laki-laki. Nah ketika kuliah, baru saya mulai beli-beli kosmetik, pakai dress, mulai coba-coba berani,” kata dia.

 

Lambat laun, Boris menyadari keberaniannya untuk berpenampilan layaknya perempuan bertolak belakang dengan fitrahnya sebagai lelaki. Dia menyebut bahwa masa itu merupakan fase hidupnya yang paling gelap. Dia takut akan azab yang akan ditanggungnya di akhirat. “Saya dulu mikir kalau saya begini terus, gimana nanti di kuburan? Jujur saya takut sama kematian, saya takut sama Tuhan,” kata Boris.

 

Agar tidak lantas tergoda terhadap sesama jenis, pria yang kini bekerja di sebuah salon itu kerap beribadah di masjid lingkungannya. Boris pun sedang mencari tambatan hidup seorang perempuan normal yang mau menerima kondisinya saat ini. Akan tetapi, upaya Boris untuk memiliki pasangan lawan jenis belum terwujud. Banyak di antara mereka yang tahu masa lalu Boris. Meski demikian, Boris masih terus berusaha untuk menemukan jodohnya.

Hal senada juga disampaikan Rohana (bukan nama sebenarnya). Perempuan ini sempat memiliki ketertarikan terhadap sesama kaum hawa. Pernah menjadi lesbian, wanita asal Bandung ini pun pernah menjalani hubungan asmara dengan sesama perempuan. Lebih jauh dari itu, Rohana bahkan sempat berpikir untuk melakukan operasi kelamin. “Alhamdulillahnya, cahaya Allah masih senantiasa menghampiri di posisi tergelap saya sekalipun. Waktu itu sebelum operasi kelamin dieksekusi, saya nangis dan seperti ada yang menggerakkan saya untuk jangan berangkat ke Thailand (untuk operasi),” ujar Rohana.

 

Saat menentang fitrahnya sebagai seorang perempuan, berbagai penyangkalan terhadap Allah ia lakukan. Kisah perjalanan ‘pulang' Rohana kembali kepada fitrah bukanlah perjalanan yang singkat. Selain sempat berpikir untuk mengubah kelamin, Rohana juga pernah berpikir untuk bunuh diri. Dia merasa tidak nyaman dan jijik dengan tubuh perempuannya. Ia bahkan mendefinisikan dirinya sebagai laki-laki yang terjebak di dalam tubuh perempuan.

 

“Sampai suatu hari saya berpikir, kalau saya terjebak dalam tubuh ini, lantas siapa yang menjebak? Yang menciptakan tubuh saya adalah Allah, masa Tuhan menjebak hamba-Nya? Di situ saya berpikir bahwa saya harus pulang, harus belajar menjadi perempuan sebenar-benarnya,” kata Rohana yang sempat bekerja sebagai jurnalis tersebut.

 

Kini, Rohana bahagia dengan keluarga kecilnya di suatu tempat di Jakarta. Keputusannya untuk kembali ke fitrah, membuat wanita yang kini telah berhijab itu menjalani pernikahan dengan seorang pria. Rohana pun kian berbahagia dengan seorang buah hatinya.

top

Pixabay

Oleh ANDRIAN SAPUTRA, IMAS DAMAYANTI

Yang menciptakan tubuh saya adalah Allah, masa Tuhan menjebak hamba-Nya? Di situ saya berpikir bahwa saya harus pulang, harus belajar menjadi perempuan sebenar-benarnya.

Kisah Hijrah Eks LGBT

Berjuang Kembali ke Fitrah